Jumat, 06 Februari 2009

SEBUAH PEMIKIRAN DALAM USAHA MENGGELIATKAN FILM INDIE

ANTARA PRODUKSI, SCREENING, DISTRIBUSI, FESTIVAL FILM INDIE DAN PERPUSTAKAAN FILM INDIE

ananto prasetyo

USAHA MENGGELIATKAN FILM INDIE

Keinginan menciptakan ruang untuk pergumulan bagi pelaku film indie dan pecinta film indie diawali pada tahun 1997 dimana tidak ada satu mediapun yang memberi ruang untuk itu. Banyak kine klub beberapa universitas seolah berjalan pada rel mereka sendiri-sendiri. Minimnya festival film indie di Indonesia semakin membuat tertatihnya geliat pelaku film indie. Segelintir lembaga kesenian dibawah naungan pemerintah sempat membuka kebuntuan nasib pelaku film indie, setidaknya bisa menjadi penawar untuk mewadahi dan mengapresiasi kerja kreatif mereka, sebut saja di sekitar tahun 1997 Dewan Kesenian Jakarta melontarkan festival film indie yang beberapa tahun kemudian menghilang entah kemana. Di awal tahun 2000an muncul Festival Film Konfiden, yang beberapa tahun kemudian juga mengalami ke-vacuum-an. Angin segar yang lain dihembuskan oleh SCTV yang menggelar Festival Film Indie Indonesia yang hanya berumur 2 tahun, inipun tersebar isu FFII dibidani karena terjadi kemiskinan ide di FTV, salah satu program andalan yang dimiliki SCTV kala itu. Beberapa pihak berpendapat bahwa program FFII ini dicurigai melakukan pencurian ide dari peserta FFII. Kemudian banyak bermunculan festival film di level lokal yang semuanya hanya sekedar penyambung semangat bagi pelaku film indie di tingkat lokal di negeri ini.

Di Yogyakarta sendiri banyak bermunculan komunitas yang memberi ruang untuk pemutaran seperti yang dilakukan oleh Rumah Sinema, Kinoki, Sevenenders, Movie Box, Taman Budaya Yogyakarta dan beberapa warung gaul, lounge dan cafĂ© yang memasukkan agenda pemutaran film indie dalam usaha mereka mengenalkan produk layanannya. Pada perkembangannya proses mediasi untuk karya film indie ini seolah jalan ditempat, bahkan ada yang sudah tidak jelas nasibnya. Beberapa format yang disuguhkan seolah tidak menawarkan hal yang lebih, karena memang ‘hal lebih’ ini membutuhkan kerja yang keras. Beberapa komunitas penyelenggara mediasi karya film indie terjebak pada format yang monoton dan hanya berhenti dititik tertentu. Terdapat beragam penyelenggaraan pemutaran tapi masih menggunakan format yang seragam. Tidak sedikit dari mereka yang mengalami kelelahan dalam menjalaninya. Mengapa pemutaran film indie bernasib demikian?

Kesadaran atas mediasi yang berkesinambungan merupakan hal yang besar dan pelik untuk dilakukan. Perlu kerja kolaborasi dengan penuh kesabaran, kesadaran dan pengorbanan. Siapa yang akan melakukan hal besar tersebut kalau tidak diawali dari diri kita sendiri.

Sejauh ini kebutuhan mediasi karya film indie tidak berhenti pada penyelenggaraan pemutaran saja, masih ada kebutuhan lain yang membutuhkan perhatian yang tidak kalah besarnya seperti pendalaman keilmuan atas ide cerita, penguasaan teknis, manajemen produksi, distribusi, sponsor dan yang tidak kalah pentingnya adalah proses legalitas karya melalui paten atas hak cipta. Yang terakhir ini sering menimbulkan masalah karena hak cipta atas kreativitas belum menjadi kesadaran bersama dan kurangnya perhatian dari lembaga pemerintah. Pemerintah terasa kurang lentur dalam menyikapi dinamika budaya warga negaranya, bahkan seni tradisional seperti Reog sempat diklaim menjadi budaya Bangsa Malaysia, dan kita kelabakan dibuatnya. Mengapa kebanggaan kita baru muncul setelah sesuatu itu diklaim dan dijadikan kebanggaan oleh bangsa lain. Banyak kasus yang bisa dijadikan contoh.

Hak cipta masih dalam hitungan kesekian didaftar skala prioritas kita. Kita baru akan kebakaran jenggot bila kita menemui karya kita dicuri oleh pihak lain tapi apa yang bisa kita lakukan? Bisa jadi kita tidak bisa berbuat apa-apa, proses yang panjang dan jaminan hukum yang tidak jelas terpampang di depan kita dan kita menjadi malas untuk melaluinya, kemudian mengikhlaskannya toh tidak jarang kita juga melakukan pencurian-pencurian kecil seperti mereka.

PRODUKSI

Bukankah film terbentuk dari rangkaian beberapa sequence, sequence terdiri dari serangkaian scene, scene dibentuk dari kumpulan cut. Cut yang bercecer dikumpulkan, ditata layaknya permainan puzzle. Sebuah proses yang rumit. Hiruk pikuk ini menuntut kemampuan dan kerjasama kolaboratif yang setara agar dalam perjalanannya tidak limbung.

Pada level komunitas film indie, kendala proses produksi adalah hal yang tidak ada habisnya untuk dibicarakan. Mereka akrab dengan keterbatasan, dan keterbatasan menjadi tantangan tersendiri untuk ditabrak dan kalau perlu untuk dientahkan. Selanjutnya kompromi-kompromi menjadi hal biasa karena tuntutan itu muncul disana sini baik dari sisi peralatan, penyederhanaan peralatan, artistik, setting dan lain sebagainya. Kompromi-kompromi inilah yang nantinya mempengaruhi proses dan hasil akhir. Namun, segala keterbatasan ini tentunya tidak akan menyurutkan semangat produksi film indie karena kekuatan dari film indie terletak pada kreativitas, keliaran ide, dan terbebasnya dari kekangan industri. Kekuatan untuk tidak berkompromi dengan industri film menyebabkan keengganan para sponsor untuk melirik aktivitas mereka. Dukungan finansial yang tidak sedikit harus dijawab dan dipecahkan. Keajaiban muncul disini dari kerelaan menabung bersama, menjual barang-barang yang dirasa tidak penting untuk dimiliki, bekerja paruh waktu dan hal-hal aneh lainnya sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.

Selain itu, permasalahan kebutuhan pemain film indie juga hal yang belum mendapat perhatian khusus. Kehadiran mereka berpengaruh besar pada perkembangan film indie. Yang terjadi saat ini pemilihan pemain hanya berdasarkan kedekatan emosional, pertemanan atau ala kadarnya. Sering kita jumpai pemain ditunjuk di lapangan entah dipilih dari salah satu kru atau mencomot sana sini, mungkin dari teman, temannya teman, warga di sekitar lokasi, adik, keponakan bahkan ada yang rela membawa kedua orang tuanya untuk diajak bermain. Meski sudah kita jumpai beberapa komunitas yang mulai mendisiplinkan diri melakukan audisi.

Pilihan melakukan audisi tentunya akan menghasilkan karya yang lebih baik, meski pilihan ini mengandung konsekuensi tersendiri. Keterlibatan komunitas keaktoran seperti teater, sekolah kepribadian, agensi model akan memberi warna yang indah bagi perfilman indie. Di beberapa Negara lain sudah bermunculan komunitas keaktoran yang mengkhususkan untuk mensupport perfilman indie. Bagi mereka proses ini merupakan langkah awal untuk menjadi aktor professional. Bukankah satu proses yang saling menguntungkan. Kita ambil contoh di negeri Cina muncul komunitas yang menamakan Soundfactor, mereka mengkhususkan menggarap sound untuk film indie, dengan harga yang bersahabat dan kemudahan cara bayar. Semoga saja mereka melakukan ini bukan semata-mata profit oriented tapi memang tergerak untuk ikut menghidupi film indie selain mereka harus tetap mempertahankan keberlangsungan proses mereka. Dari contoh diatas jelas bahwa kerja kolaboratif dari berbagai lintas disiplin diperlukan. Untuk itu perlu dilahirkan komunitas-komunitas serupa.

Hal diatas tidak menjadi masalah besar apabila kehidupan film indie di Indonesia sudah mempunyai infrastruktur yang baik dan daya tawar yang kuat. Dibeberapa festival film indie internasional telah tercipta pola festival yang bisa memberi manfaat bagi pelaku film indie itu sendiri, dimana dalam festival itu dihadiri para perusahaan besar di industri film, tidak sedikit film indie yang dibeli dan diproduksi ulang oleh perusahaan besar tersebut.

SCREENING

Sering kita mendapat pertanyaan yang sebenarnya kita juga bingung untuk menjawabnya: “Aku dengar kamu baru produksi film ya? Kapan launching? Trus mau didistribusikan kemana?”. Yang bisa kita lakukan hanyalah menyanyikan lagu Hari Moekti yang berjudul Apel Pertama “.... kelu lidahku... kering tenggorokanku... aku bingung...!”

Di tengah keterbatasan produksi sebuah film indie sering kali muncul keraguan para pelaku film indie mau dikemanakan karya mereka? Apakah mereka harus berpuas diri kerja kreatif mereka hanya akan memenuhi rak di kamar kontrakan? Apakah nasibnya akan tertindih seperti kepingan itu tertindih benda-benda lain yang datangnya belakangan.

Screening atau pemutaran baik mandiri atau melalui media yang sudah ada mungkin langkah awal yang bisa dilakukan. Banyak komunitas film yang mencoba membuat mediasi melalui jalur ini. Cukup menggembirakan dan mendapatkan antusias yang besar meski baru dari kalangan komunitas film indie, belum dipenuhi oleh penikmat film yang sebenarnya. Sejarah perkembangan mediasi film indie melalui pemutaran mulai merebak di awal tahun 2000. Beragam pemutaran dilakukan meski masih menggunakan pola yang seragam. Film diputar dengan mengundang komunitas lain untuk mengkritisi melalui diskusi. Diskusi yang sering dilakukan seputar tema atas ide kreatif film tersebut.

DISTRIBUSI

Berbicara distribusi film indie seolah kita berbicara suatu barang dagangan dengan kemasan jual yang kurang menarik. Si pedagang harus berjuang dengan keras menjajakan dagangan tersebut, meyakinkan calon pembeli bahwa dagangannya ini adalah dagangan menarik sekaligus unik. Pilihan kata menarik dan unik mungkin bisa kita jadikan pijakan awal untuk membuat strategi distribusi film indie. Sesuatu yang menarik tentunya akan segera merebut perhatian dan keinginan calon pembeli untuk memilikinya. Tapi sesuatu yang unik tidak akan kalah menariknya untuk mampu merebut perhatian dan keinginan calon pembeli.

Sebenarnya apa yang ingin ditawarkan dari film indie itu? Apakah proses produksinya atau ide yang coba dilontarkan? Tentunya ide adalah hal yang ingin ditawarkan. Lalu apakah proses produksi bisa dikesampingkan? Tentu saja tidak. Proses produksi adalah bagian dari penyampaian ide, bila proses produksi bisa mencapai tataran yang diharapkan maka pelontaran ide tentunya akan mencapai tahapan yang diharapkan pula. Disinilah arti penting kesadaran hak cipta diperlukan. Hak cipta akan melindungi ide-ide kita dari para plagiat yang tidak bertanggung jawab.

Kasus pencurian ide sebenarnya berkembang marak di dunia televisi kita. Sebagai contoh, seorang penulis lepas berbondong-bondong ke Jakarta membawa ide brilyannya dengan harapan bisa dijadikan salah satu program acara di salah satu stasiun televisi, sesampainya disana dia mendapat jawaban bahwa idenya tidak menarik, tidak menjual tapi selang beberapa bulan ide yang sama diproduksi dengan setting yang berbeda. Lalu apa yang bisa dilakukan si penulis itu? Legalitas hukum diperlukan disini, dan apabila kita tidak memilikinya maka ide kita harus kita kawal dengan ketat dan jangan dibicarakan dengan sembarang orang apalagi orang yang duduk dibangku industri.

Apabila hak cipta sudah menjadi bagian dari proses kreatif kita maka distribusi bisa dilakukan dengan aman dan nyaman. Kita bisa mendistribusikan film indie kita sesuka hati kita melalui berbagai jalur, seperti menjual dalam bentuk kepingan, dititiprentalkan, ditawarkan ke industri film, stasiun TV, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya. Sudahkah kita melakukan itu sampai saat ini?